"Diberkati Atau Bahagia ?"
- Ps. J.B. Sangari
- Feb 18, 2016
- 2 min read

“TURN YOUR EYES UPON JESUS !
*SONG: “Turn your eyes upon Jesus, Look full in His wonderful face, and the things of earth will grow strangely dim, In the light of His glory and grace.”
“DIBERKATI ATAU BAHAGIA ?”
"Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” --(Mat. 5:2-3).
(“And he opened his mouth, and taught them, saying, Blessed are the poor in spirit: for theirs is the kingdom of heaven.” -- KJV).
# Dalam Matius 5-7, kita temukan khotbah paling termasyur yang pernah disampaikan. Khotbah di Atas Bukit mulai dengan delapan petuah yang kita kenal sebagai Ucapan Bahagia. Masing-masing mulai dengan kata Yunani makarios yang dapat kita terjemahkan dalam berbagai cara, termasuk “diberkati” dan “bahagia.”
Tetapi ada masalah apabila kita menterjemahkannya “bahagia.” Kita semua punya hari-hari tidak bahagia walau kita beriman kepada Yesus. Tentu saja, ada suatu perasaan di mana semua umat percaya selalu bahagia dan berhak bahagia, karena mereka sudah menjadi anggota kerajaan Allah. Tetapi warga kerajaan masih mengalami hari-hari menyedihkan ketika “ruwet” menjadi cara satu-satunya untuk menggambarkan perasaan mereka.
Dan “perasaan” menjadi kata kunci dalam kalimat itu. Saya ingin menyarankan bahwa “bahagia” adalah terjemahan yang kurang tepat bagi makarios, karena sebagian besar kita bahagia itu sebagai keadaan subjektif. Yaitu, kebahagiaan adalah bagaimana kita merasa. Kita merasa sedih atau bahagia.
Tetapi kehidupan Kristen tidak berdasarkan perasaan subjektif. Pernah salah seorang siswa muda saya, datang ke kantor saya sambil mengatakan bahwa dia bingung karena dia tidak bahagia. Perasaan-perasaan itu menjurus kepada keputus-asaan. Yesus tidak berkata berulang kali bahwa jika orang-orang menjadi umat Kristen maka mereka akan bahagia ? Oleh karena itu, jika dia tidak bahagia maka apabila dia tentu bukan orang Kristen ? Ada sesuatu yang tidak benar dalam kehidupannya, tetapi dia tak dapat menyimpulkan apa itu sebenarnya. Dia sudah tiba di lubang keputus-asaan.
Saya menerangkan kepadanya bahwa anggapannya itu salah adanya—karena penerimaan kita terhadap Allah tidak terletak kepada perasaan kebahagiaan atau kesedihan yang subjektif, tetapi dalam fakta objektif di mana Yesus mati untuk dosa-dosa kita dan semua yang menerima pengorbanan-Nya dalam iman sudah diampuni dan menjadi warga kerajaan surga. Dengan kata lain, teman saya yang mahasiswa ini diberkati Allah, tak peduli bagaimanapun perasaannya.
Maka, jika saya tidak merasa bahagia karena “dianiaya oleh sebab kebenaran” (Mat. 5:10), saya masih punya rasa damai karena saya sudah diberkati oleh Yesus. Itulah kenyataannya. Dan karena saya merasakan sesuatu yang membuat saya merasa bahagia dengan damai di hati, maka diberkati lebih berarti daripada kebahagiaan. Diberkati adalah suatu realita di mana hari yang ruwet tidak dapat renggut dari saya. #